Perkembangan dunia di bawah kontrol Imperialisme telah mendorong negara-negara di seluruh dunia untuk mulai menciptakan energi baru terbarukan dan meninggalkan energi fosil. Hal ini dilatar-belakangi oleh keberadaan bumi yang semakin rusak akibat eksploitasi yang orientasi utamanya adalah untuk kebutuhan industri yang dikuasai dan dimonopoli oleh Imperialisme. Selain keadaan tersebut krisis ekonomi akut yang terus menghantam Imperialisme juga menjadi dasar bagi Imperialisme untuk mempromosikan pembaruan penggunaan energi.
Melalui forum-forum internasional, Imperialisme terus mempromosikan enegi baru guna mengatasi perubahan iklim yang sejatinya merupakan dampak dari produksi mereka yang sangat brutal dalam menjalankan produksinya. Secara bersamaan, imperialisme juga melakukan “standard ganda” nya dengan tetap mempertahankan eksplorasi energi fosil maupun batu bara yang jelas-jelas sangat merusak lingkungan.
Krisis ekonomi yang pada perkembangannya berwujud krisis over kapital (kelimpahan modal) yang dialami oleh Imperialis merupakan bentuk lanjut dari krisis over produksi (kelebihan produk) yang bertahun-tahun dialami oleh Imperialisme. Berkedok untuk memperbaiki iklim dan menyelamatkan bumi dari kerusakan, Imperialisme menjalankan motif utamanya yakni melancarkan eksport kapital ke berbagai negeri di dunia guna megatasi krisis over kapital (kelibahan modal) yang dia hadapi. Opersi eksport kapital ditengah situasi krisis hebat yang mereka alami menjadi hal yang sangat penting bagi Imperialisme guna mempertahankan monopolinya atas bahan baku bagi industry mereka, pasar tenga kerja murah bagi industry mereka, pasar bagi seluruh produk-produk mereka, serta wilayah yang siap mereka monopoli melalui operasi ekspor kapital mereka melalui skema seperti investasi, hutang dan hibah.
Negeri-negeri terbelakang dan berkembang seperti Indonesia selalu didorong mentuk mengembangkan potensi suber daya alamnya guna mengatasi perubahan iklim dan penggunaan energi baru yang dinilai lebih ramah lingkungan. Seperti yang sudah-sudah, Imperialisme menggunakan forum-forum organisasi internasional yang mereka kontrol seperti IMF, World Bank, G20, G7, COP 27 hingga PBB untuk melancarkan dikte mereka kepada negara-negara di dunia utamanya negara-negara terbelakang dan berkembang. Melalui forum-forum dari organisasi Internasional inilah, Imperialisme selalu berhasil menundukkan rezim boneka diberbagai negeri melalui iming-iming kemajuan ekonomi dari negeri yang dipimpin oleh rezim boneka tersebut. Iming-iming tersebut sejalan dengan kepentingan rezim boneka untuk meraih keuntungan dari setiap kepentingan Imperialime di negeri mereka. Hal inilah yang kemudian mendorong pemerintah Indonesia di bawah rezim bonekanya dengan sangat giat mengembangkan energi terbarukan dari potensi suberdaya alam yang di miliki negeri ini.
Potensi Panas Bumi yang Menggiurkan Bagi Imperialis
Pengembangan energi listrik yang “ramah lingkungan” merupakan salah satu proyek strategis nasional yang termuat dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Dalam RUPTL itu, disebut adanya prioritas penggunaan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) sebesar 51 persen. Salah satu bentuk tenaga listrik “ramah lingkungan” ini salah satunya adalah pengembangan proyek PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi).
Berdasarkan data KESDM, Pulau Flores memiliki potensi panas bumi 902 MW atau 65% dari total potensi di NTT. Dengan potensi itu, pada 2017 Menteri ESDM Ignasius Jonan menetapkan Flores sebagai pulau panas bumi melalui Kepmen ESDM No. 2268K/30/MEM/2017. Targetnya, energi panas bumi jadi sumber listrik utama di pulau ini.
Titik-titik potensi panas bumi itu tersebar pada 16 titik di Pulau Flores, yakni Ulumbu, Waisano, Wai Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Oka Ile Ange, Sokoria, Jopu, lesugolo, Atedai, Roma-Ujelewung, Ndetusoko, Oyang Barang, dan Bukapiting.
Dalam berbagai studi itu juga disebutkan, secara umum Pulau Flores merupakan daerah vulkanik dengan gunung api aktif sebanyak 13, lima gunung api merupakan lokasi panas bumi. Ulumbu, satu sumber yang terletak di Gunung api Poco Leok. Pemanfaatan energi panas bumi di Ulumbu dilakukan berdasarkan SK Dirjen Mineral dan Batubara Nomor 3042/33/DJB/2009 tertanggal 28 Oktober 2009. Sampai pada tahun 2022, PLTP Ulumbu telah memiliki 4 unit yang baru menghasilkan sekitar 10 MW.
Seentara dalam studinya, PLN menyebutkan, potensi listrik yang dimiliki Ulumbu mencapai 100 MW. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bahkan menyebut potensi listrik di sekitaran Ulumbu mencapai 187,5 MW. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, maka pada tahun 2018 PLN menandatangani pinjaman untuk pendanaan pengembangan PLTP Ulumbu unit 5 dan 6 dan PLTP Mataloko unit 2-3 sebesar 150 Juta Euro atau setara dengan Rp 2,6 Triliun yang berasal dari bank asal Jerman, KfW (Kreditanstalt für Wiederaufbau) Development Bank, dengan bentuk pinjaman langsung tanpa jaminan pemerintah. Pinjaman tersebut digunakan untuk pendanaan Geothermal Energy Programe. Di mana penandatanganan pinjaman tersebut dilangsungkan pada aca forum Indonesia Investment, IMF-World Bank Group Annual Meetings 2018 di Nusa Dua, Bali.
Saat ini, pembangunan perluasan PTLP Ulumbu 5-6 Poco Leok memasuki tahap pembebasan lahan untuk lokasi empat titik pengeboran (wellpad), yakni di Desa Mocok, Langar, dan Desa Wewo. Penetapan titik pengeboran ini berdasarkan Surat Keputusan Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022. Pembangunan PLTP Ulumbu direncanakan memanfaatkan 7 area pengeboran, di antaranya 5 area sumur produksi dan 2 sumur reinjeksi. Rencana lokasi penambangan juga merupakan tempat hidup bagi 14 kampung adat di Poco Leok.
Tahapan pembangunan energi baru terbarukan (EBT) Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu berkapasitas 2×20 MW yang di wilayah Poco Leok Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur terus berjalan meskipun dibanjiri penolakan dari kelompok warga utamanya masyarakat adat yang tidak setuju terhadap pengembangan PLTP tersebut.
Energi Terbarukan Hanyalah Kedok
Pengembangan enegri terbarukan guna mencukupi kebutuhan listrik di Flores sejatinya merupakan argument yang menyesatkan jika kita melihat kenyataan bahwa sejak PLTP Ulumbu dibangun pada tahun 2011 hingga kini masi banyak kampung di Manggarai khususnya dan Flores pada umumnya masih belum teraliri listrik. Sesatnya argument tersebut semakin menemui kebenarannya ketika kita melihat bahwa prioritas utama pengembangan PLTP Ulumbu adalah untuk memenuhi kebutahan listrik di Labuan Bajo yang merupakan salah satu dari destinasi pariwisata super priotas pemerintah dan merupakan salah satu dari Kawasan stratergis pariwisata nasional (KSPN). Pemenuhan kebutuhan listrik bagi KSPN Labuan Bajo melalui pengembangan PLTP Ulumbu merupakan jalan bagi menarik investasi sebesar-besarnya masuk berinvestasi baik di potensi panas bumi yang dimiliki pulau Flores maupun berinvestasi di KSPN Labuan Bajo.
Hal ini menunjukkan bagaimana skema Imperialisme guna mendapatkan jalan bagi lancarnya operasi eksport kapitalnya telah berhasil didiktekan dan diljalankan oleh pemerintahan Boneka di Indonesia. Keadaan yang demikian telah memberi jalan bagi Imperialisme untuk mengatasi over kapital ( Kelebihan Modal) yang seterusnya akan memberi jalan bagi Imperialisme untuk menjalankan kepentingannya yang lain seperti pemenuhan bahan baku, tenaga kerja murah, pasar bagi produk mereka dan wilayah yang bisa jadi sasaran ekspor kapitalnya baik dalam bentuk investasi, hutang dan hibah.
Masalah lingkungan yang hurus diterima rakyat dari proyek PLTP Ulumbu 5 dan 6 ini diantaranya seperti yang terjadi dikampung Wewo, Damu dan Tantong. Dimana di kampung-kampung tersebut air yang mereka gunakan untuk keperluan sehari-hari telah tercemar limbah dari PLTP Ulumbu 1-4. PLTP juga mengakibtkan kerusakan pada lahan pertanian mereka sehingga menurunkan hasil pertanian mereka. Masalah lain dari lingkungan yang juga terungkap adalah bencana alam, yaitu penurunan tanah sedalam tiga meter di Nekek, lokasi yang berjarak 200 meter dari PLTP Ulumbu 1-4.
Di sisi lain, Poco Leok adalah daerah yang sangat rentan terjadi longsor. Hal ini terbukti dari setiap tahun selalu terjadi longsor di daerah tersebut jika intensintas hujan yang tinggi. Bahkan pernah terjadi keretakan selebar 6-10 cm dan Panjang 300 meter di kampung adat Mesir, sekitar tiga kilometer dari lokasi PLTP Ulumbu 1-4. Akibat kejadian itu, beberapa warga akhirnya direlokasi di Golo Rua, kampung baru untuk warga adat Mesir.
Masalah Kesehatan juga dialami oleh rakyat yang diakibatkan oleh tercemarnya air oleh limbah PLTP menyebabkat rakyat banyakyang mengalami diare. Gas Hidrogen Sulfida yang dikeluarkan oleh cerobong asap PLTP juga mengakibatkan rakyat mengidap penyakit saluran pernapasan. Merujuk pada data BPS Kabupaten Manggarai, Desa Wewo adalah penyumbang terbesar korban penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dari tahun 2017 sampai 2019.
Di lain sisi guna melancarkan proyek ini baik pemerintah maupun PLTP tak segan-segan memecah belah rakyat. Salah satu cara guna memecah belah rakyat adalah dengan cara melahirkan kesepakatan-kesepakatan atas pembesasan lahan dengan pemilik ulayat tertentu tanpa melibatkan seluruh pemegang ulayat. Selain itu, janji perusahaan kepada warga untuk mempekerjakan warga lokal, juga telah menimbulkan konflik sosial. Ada kecemburuan antar warga di masing-masing kampung, apalagi saat ini, hanya ada 7 orang dari warga di Desa Wewo yang bekerja di PLTP Ulumbu. Kenyataan tersebut tentu berbanding terbalik dengan pernyataan PLTP, Pemerintah Pusat dan Gubernur NTT yang menyatakan pembangunan dan pengembangan PLTP ini dapat meningkatkan ekonomi rakyat dengan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat.
Dari kenyataan yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa Rakyat Poco Leok rata-rata menolak karena kenyataannya selama beroperasinya PLTP Ulumbu 1-4 nyata-nyata tidak memberi dampak yang baik bagi kehidupan mereka. Berbekal dari pengalaman mereka atas beroperasinya PLTP Ulumbu 1-4 ini maka menjadi jelas mengapa hari ini pengembangan PLPTP Ulumbu 5 dan 6 berhadapan dengan perlawanan rakyat yang menolak secara tegas pengembangan PLTP Ulumbu.
Sikap rakyat Poco Leok dan perlawanan rakyat Poco leok dalam membatalkan proyek tersebut merupakan sikap dan Tindakan yang harus di dukung oleh seluruh rakyat Indonesia yang cinta akan tanah airnya. Suatu sikap dan Tindakan yang tidak ingin tanah airnya di kuasai oleh asing dan menjadikan rakyat sebagai kacung, budak di atas tanahnya sendiri serta melahirkan kerusakan lingkungan yang sangat hebat. Yang tentunya hal tersebut merupakan suatu sikap dan tindakan rakyat dalam melawan praktek monopoli tanah yang sangat massif di negeri ini.
Tuntutan Kami adalah :
1. Hentikan pembangunan PLTP Ulumbu 5-6!!!
2. Cabut Kepmen ESDM No. 2268K/30/MEM/2017 yang menetapkan Pulau Flores sebagai Pulau Geothermal! Ketetapan tersebut sejatinya adalah klaim untuk memonopoli tanah rakyat di Flores!
3. Cabut Surat Keputusan Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022 yang telah menetapkan titik pengeboran!
4. Segera tinjau ulang proses produksi PLTP Ulumbu dan PLTP Mataloko yang terbukti berdampak buruh bagi lingkungan dan kehidupan rakyat!
5. Laksanakan Reforma Agraria Sejati! Bangun Industri Nasional yang Mandiri dan Berdaulat!
Sejuta adalah organisasi tani yang sedang dalam dalam komite persiapan. Tujuan Sejuta adalah menyatukan serikat tani untuk perjuangan reforma agraria sejati. Lokasi kantor saat ini di Yogyakarta.
0 Komentar